Sabtu, 30 Agustus 2014

GURU Itu Bukan KASTA

Guru itu kasta, menurut sebagian orang guru. Guru merasa tahu segalanya. Guru juga merasa tidak boleh salah. Bahkan guru selalu memposisikan murid sebagai orang yang belajar, orang yang tidak tahu. Guru di atas, murid di bawah. Begitukah guru ?
13853072341310393788
Hari ini Guru berulang tahun. Tapi maaf, tidak ada ucapan selamat untuk guru. Karena guru belum mau belajar, guru belum mampu jadi teladan. Guru terlalu arogan, bahkan guru terlalu “tinggi” tempatnya dalam persepsi kebanyakan orang. Padahal, guru juga manusia. Guru juga bisa salah, lalu mengapa guru tidak boleh salah ?
Di dalam kelas, guru mengajar. Guru juga merasa pemegang otoritas “kebenaran”. Murid makin sulit untuk menunjukkan “kebenaran lain” di mata guru. Kalau ilmu dan pengetahuan bersifat dinamis, mengapa guru berpikir dan bertindak statis?
Pernah suatu kali murid bertanya di kelas, “Bu Guru, apakah dingin itu ada?”. Bu Guru meremehkan pertanyaan muridnya. “Kok, pertanyaan kayak gitu. Ya, tentu dong dingin itu ada. Memangnya kamu tinggal di mana ?” jawab Bu Guru. Murid sedikit terdiam. Ia berpikir dan menjawab. “Maaf Bu Guru, menurut saya, dingin itu tidak ada. Kita sering menganggap dingin karena tidak adanya panas. Saat tidak ada panas sama sekali, maka semua partikel diam. Kita menciptakan kata “dingin” sebenarnya untuk mendeskripsikan ketidak adaan panas”.
Suasana kelas makin serius. Murid pun bertanya lagi. “Bu Guru, bagaimana dengan gelap. Apakah gelap itu ada?”. Bu Guru dengan singkat menjawab, “Ya, tentu saja gelap itu ada di sekitar kita”. Murid pun kembali menjelaskan, “Maaf Bu Guru, sungguh gelap itu juga tidak ada. Bukankah gelap adalah keadaan di mana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari. Gelap tidak. Kita bisa mengukur cahaya, tapi kita tidak bisa mengukur gelap. Gelapnya suatu ruangan itu diukur oleh intensitas cahaya di ruang itu. Kita memkai kata “gelap” hanya untuk mendeskripsikan ketidak adaan cahaya”.
Guru mulai tidak menerima jawaban muridnya. Dalam hatinya, membenarkan. Tapi keadaan membuat Sang Guru sulit untuk menerima. Murid itu bertanya lagi, “Bu Guru,apakah kejahatan itu ada?”. Bu Guru mulai ragu untuk menjawabnya. “Tentu kejahatan itu ada. Kita setiap hari membaca berita kriminal di koran. Di TV, sering ada bentrok atau kekerasan. Itulah bukti adanya kejahatan di sekitar kita”. Murid pun kembali memberi argumen, “Maaf Bu Guru, seperti “dingin” atau “gelap”, tadi, kejahatan juga tidak ada. Kata “jahat” sering kita pakai untuk mendeskripsikan ketidak adaan kasih sayang Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya Tuhan dalam diri kita. Seperti “dingin” yang timbul karena tidak adanya panas dan “gelap” yang timbul karena tidak ada cahaya”.
Bu Guru mulai terdiam. Merenung sambil berpikir. Adalah nyata, Guru bisa salah dan murid bisa benar. Hanya saja, tidak semua Guru dapat menerima realitas murid yang “lebih tahu” dari gurunya. Karena itu, pesan untuk Guru:
1. Teruslah belajar, jangan pernah merasa tinggi ilmunya.
2. Tetaplah membumi dalam mengajar, jangan menerawang.
3. Tekunlah membaca dan menulis, jangan hanya berbicara dari yang didengar.
4. Tuangkanlah ilmu ke “hati murid yang luas, jangan sesempit gelas.
5. Tetaplah istiqomah dalam belajar dan mengajar.
Guru akan digugu dan ditiru bila murid-murid di dalam kelas menjadi lebih penting daripada pelajaran itu sendiri. Karena dengan “belajar”, guru akan “mengajar”. Jadi, GURU itu BUKAN KASTA … Salam Guru !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar